Flag Counter

Minggu, 22 Februari 2015

Gadis Alang-Alang

Gadis Alang-Alang

SETIAP kali melintasi tanah kosong itu, mataku selalu berlari pada alang-alang yang daunnya melebat. Bunga tengah semarak, putih berbintik kecoklatan mirip sumbu kompor. Berayun setiap angin menerobos, membelah rimbun semak. Tak pernah berubah walau hujan dan kemarau silih berganti. Hanya warna daunnya saja yang bersalin rupa, dari hijau menjadi kuning

Ya, bila reinkarnasi itu benar ada, aku ingin menjelma sebagai alang-alang. Sejak kanak aku begitu terobsesi, dan pikiran ganjil seperti itu semakin mencuat di benak. Aromanya bila sudah mengering, terbitkan sensasi aneh pada syaraf penciuman. Sepertinya aku menghirup nafas kehidupan yang baru.

"Lastri, tak cari kemana-mana, ternyata kamu di sini, tho?" reflek kuputar leher, sosok lelaki klimis telah berdiri di samping. "Ayo, pulang!" tangan kekarnya menggamit lenganku.

"Eh, Mas Permadi. Sebentar, aku baru dapat sedikit,"

"Sudahlah, kamu nggak boleh capek. Harus istirahat!" Mata kami bersitatap, dan seperti biasanya aku tak bisa menolak. Sejenak, pantatku telah menempel di jok motor Mas Permadi, membawaku pulang ke rumah kontrakan

***

"Las, sampai kapan kamu kasih keputusan?" Mas Permadi kembali melontarkan tanya yang sama. Mungkin sudah ribuan kali keluar dari bibirnya.

"Bukankah aku sudah ambil keputusan, Mas?"

"Bagiku itu bukan keputusan. Karena tidak keluar dari kejujuran. Kamu membohongi diri sendiri!"

"Bagaimana Mas tahu kalau saya bohong?"

"Aku udah lama mengenalmu, Las. Kamu tahu itu. Ibaratnya sehelai rambut yang rontok dari kepalamu pun aku bisa merasakan." Aku memang tak bisa mengelak dari lelaki satu ini. Dialah orang yang selama ini menganggap keberadaanku di dunia masih ada. Apakah ia teramat menyanyangiku? Entahlah, yang pasti sampai detik ini, ia masih memburu jawaban atas permintaan yang mustahil kululuskan.

"Sudahlah aku tak mau memaksamu. Mas pergi dulu, masih ada narasumber penting yang harus kudatangi." Tak lama punggungnya telah lenyap, tinggalkan aku yang masih termangu.

Permadi, sosok lelaki itu menghiasi hariku lebih dari tiga tahun. Kala itu aku masih bekerja sebagai penyanyi salah satu bar di kawasan Kota. Majalah tempatnya bekerja, menugaskan meliput tentang kehidupan malam, khususnya kehidupan penyanyi bar sepertiku.

Semula, aku acuhkan permintaannya untuk wawancara. Bagiku, wartawan adalah profesi yang suka mengobok-obok dan turut campur urusan orang lain. Prinsipku waktu adalah uang, karena siangnya pun aku harus kuliah.

Peristiwa itu dengan cepat terlupakan, hingga suatu hari ada kiriman majalah yang dititipkan lewat salah seorang pelayan bar. Oh, ternyata kisahku muncul di sana. Aku hanya membaca judulnya saja, tak tertarik untuk menilik lebih lanjut. Buat apa, toh aku yang menjadi pemerannya.

"Terima kasih ya, Las. Edisi majalah yang memuat kisahmu terjual habis," tutur Mas Permadi di suatu malam ketika menemaniku menunggu giliran menyanyi. Lelaki itu sekarang sering berkunjung ke bar. Seminggu bisa tiga atau empat kali datang.

"Apanya sih yang menarik, Mas. Jujur, aku malu dengan kisahku sendiri,"cetusku datar. Kami berdua duduk di sofa sudut, di bawah temaram lampu.

"Banyak lho, pembaca yang mengirim surat. Bahkan ada yang telepon langsung ke kantor."

"Ah, respons mereka pasti jelek. Wajarlah, profesiku memang dianggap sampah oleh masyarakat."

"Otakmu itu selalu berburuk sangka melulu. Tak semuanya berpendapat begitu." Aku tersenyum kecut, tak peduli. "Emang ada sisi positif dari kisahku?"

"Mereka salut atas perjuanganmu. Siang kuliah dan malamnya bekerja pula. Apa nggak capek kamu?"

"Jelas capek banget, Mas." Aku berhenti sejenak menelan ludah, "Tapi tak selamanya aku sanggup bertahan di dunia malam ini. Dengan ijazah yang kudapat nanti, kelak aku bisa melamar kerja di kantor."

"Wah, hebat! Rencana yang brilian." Mata Mas Permadi berbinar, ada kejujuran tergambar di sana. Bisa ditebak, semenjak itu kami menjadi semakin akrab. Tak jarang ia mengantarku pulang setelah bar tutup. Membuatku sebagai seorang gadis menjadi terlindungi, walaupun nada-nada miring tak pernah surut terdengar. Cap yang terlanjur melekat tak mungkin terkikis. Wanita pekerja malam, apalagi di tempat hiburan dianggap wanita jalang.

Hubunganku dengan Mas Permadi bukanlah hubungan layaknya dua orang kekasih. Jujur aku teramat menyayanginya, lebih dari sekedar hubungan asmara. Ia kuanggap sebagai kakak kandungku, yang selalu melindungi di saat terhimpit masalah. Itulah salah satu alasan mengapa sampai detik ini aku selalu menggantung jawaban setiap Mas Permadi melontarkan tanya.

Aku bukanlah sosok yang tepat untuk menjadi pendamping hidupnya. Virus-virus kotor telah menyebar dalam ragaku. Saat masih menapak di dunia malam, diriku tak kuasa menolak godaan yang begitu menggairahkan. Jarum suntik telah merajam seluruh pembuluh darah, menerbangkan angan pada kesenangan sesaat.

***

Permadi, namaku. Dan seperti dalam kisah pewayangan, banyak gadis yang silih berganti dalam kisah kasihku. Sejak SMP kelas tiga, aku sudah mengenal pacaran, walau hanya sebatas cinta monyet. Berbagai tipe cewek pernah jadi kekasihku. Mulai yang lembut layaknya Dewi Woro Sembadra ataupun yang trengginas seperti Srikandi.

Sampai hari ini, aku tidak terima dengan alasan Lastri menolak lamaranku. Cinta itu memang buta, tapi mataku benderang ketika memutuskan untuk menikahinya. Aku temukan sesuatu yang bersinar pada dirinya. Begitu pula, keherananku masih tak terjawab mengapa Lastri begitu mengagumi alang-alang.

Bibir tipis merekah itu bertutur tentang liku-liku hidupnya yang mengharu biru. Lastri berasal dari sebuah desa berhawa sejuk di sekitar lereng Gunung Lawu. Selepas SMA, ia ingin mengubah nasib. Jakarta, adalah tujuannya. Dari layar kaca, gadis lugu itu menyaksikan betapa gemerlapnya kota metropolis. Walaupun bapak-simboknya enggan merestui, tekadnya sudah bulat. Berbekal tabungan dan alamat famili yang sudah dahulu merantau, Lastri berangkat memburu impiannya.

Cerita klasik terulang, harapan memang tak sesuai dengan kenyataan. Mencari pekerjaan di Jakarta, tidaklah semudah membalik telapak tangan. Hampir tiga bulan, Lastri lontang-lantung memburu pekerjaan. Uang tabungan berangsur mulai menipis, dan menumpang di rumah saudara terlalu lama tentu menimbulkan pakewuh.

Menginjak bulan keempat, lewat kenalan Lik Gimin, saudara sepupu ibunya, Lastri mendapatkan tawaran sebagai pelayan karaoke. Walaupun hatinya kurang sreg, ia menerima pekerjaan itu. Lastri yang lugu, kini harus berhadapan dengan realita metropolis yang kejam.

Kurang dari setahun, Lastri telah menjadi primadona tempatnya bekerja. Merasa telah mempunyai kemampuan yang cukup, Lastri mencoba melamar menjadi penyanyi bar. Nasib baik memayungi, ia diterima.

Dunia malam selalu menebarkan pesona, sekaligus jerat beracun. Ibarat Poison Ivy, sulur-sulurnya semakin memanjang, menariknya dalam pelukan memabukkan. Narkoba telah berhasil meninabobokkan Lastri. Semenjak mengenalku ia mulai menjaga jarak. Ia tahu aku tidak suka dan selalu cemburu bila dirinya berakrab ria dengan lelaki lain.

Benih-benih cinta semakin tumbuh rimbun di hatiku, tapi Lastri selalu mengelak bila kuutarakan perasaan itu. Tapi aku tahu, dari gerak-geriknya cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Ah, perempuan memang jago memendam rasa…

Sampai suatu hari prahara itu merapat. Sudah seminggu aku tak bertemu Lastri karena harus meliput berita ke luar daerah. Bergegas aku ke kontrakannya, kudapati gadis itu begitu layu. Rambut masai, bibirnya pun pucat. Hanya sedan meluap setiap kali kutanya perihal penyakitnya.

"Mas…," tiba-tiba ia menubrukku ketika aku memutuskan berpamitan. Sontak kurengkuh tubuhnya, terasa ada yang lain. Mungkin selama seminggu kutinggal, makannya tidak teratur. Hingga tubuh Lastri yang langsing, kini menjadi begitu kurus.

"Ada apa, Las. Ayo cerita, bukannya kamu sudah menganggapku saudara?" Lastri tak menjawab, air matanya makin membanjir membasahi punggung. Kudapati tangannya mengenggam selembar kertas, spontan aku raih. Hasil pemeriksaan laboratorium kondisi kesehatan Lastri. Tuhan, apakah mataku telah rabun?Benarkah tulisan yang kubaca?Tidak!Lastri tidak mungkin terinfeksi virus terkutuk itu!

"Be…benar, ini Las?" bibirku bergetar. Kutegakkan kepala Lastri, mata kami bersitatap. Ingin kucari jawaban dari sepasang mata gadis alang-alang itu.

"Benar, Mas. Aku positif HIV," bisiknya lirih. "Menurut dokter terkontaminasi lewat jarum suntik." Luruh tubuhku, terduduk tanpa sadar. Rupanya selama ini Lastri telah berpura-pura di hadapanku. Janjinya untuk meninggalkan obat-obatan haram itu telah dilanggar.

"Apa, kamu masih mengonsumsi barang laknat itu?!" teriakku histeris. Tubuh Lastri terdorong menjauh.

"Maafkan aku, Mas," roman Lastri begitu pucat memandang. "Mas pasti jijik dengan keadaanku sekarang. Silahkan pergi, Mas. Jangan temui aku lagi!" Aku hanya diam, lidah kelu. Ingin rasanya segera beranjak, meninggalkan gadis yang tengah sekarat ini. Entah mengapa, nuraniku menghendaki lain. Aku bukanlah lelaki pengecut, yang tega meninggalkan perempuan yang dikasihinya dalam jurang keputusasaan. Saat ini akulah orang terdekat, yang seharusnya membangkitkan gairah hidupnya kembali.

"Sekarang semuanya terserah padamu. Nasi telah menjadi bubur, percuma disesali," kuhela nafas, mencoba menata rasa. "Kamu harus bangkit dan terus melanjutkan hidup."

Lastri tercenung, terlihat jelas pikirannya tengah berputar keras. "Mulai besok kuputuskan untuk berhenti menyanyi."

"Lalu…?" tanyaku memburu.

"Aku akan konsentrasi pada kuliah. Saya rasa tabunganku cukup sampai lulus nanti. Setelah itu baru mencari kerja lagi."

"Wah, aku senang sekali kamu bersemangat gitu,"

"Terima kasih, Mas. Kamu tidak meninggalkan aku."

"Jangan sampai masalah ini menyebar ya, Las. Masyarakat negeri ini belum bisa menerima keberadaan penderita AIDS sepertimu."

"Iya, Mas. Lastri paham. Itulah yang sempat membuatku stres. Kalau penyakit ini sampai bocor ke telinga mereka, terutama keluargaku, pasti aku akan dibuang seperti seonggok daging busuk." Suara Lastri tercekat, mata yang sempat berbinar, kini meredup kembali.

"Percayalah semua akan baik-baik saja. Mulai sekarang kamu harus jaga diri. Jangan lupa rajin kontrol ke dokter. Aku akan selalu di sampingmu!" Kurengkuh gadis malang itu, keharuan menyeruak.

***

Di kamar berdinding serba putih itu, Lastri tengah terbujur lemas. Beberapa hari ini kondisi kesehatannya menurun drastis. Walaupun tak pernah lalai minum obat dan konsultasi ke dokter, virus-virus itu makin menebar ancaman. Permadi dengan setia duduk di sampingnya. Roman lelaki itu nampak cemas. Genggaman tak pernah lepas dari telapak tangan yang semakin hari semakin kering itu.

Mata Lastri membuka perlahan. Bibirnya merekah indah ketika melihat seikat besar bunga alang-alang tergolek di meja.

"Mas, bisa ambilkan bunga alang-alang itu?" Permadi tergeragap, lekas ia menyambar. Sensasi ganjil menjalar di rona Lastri, ketika ia mencium bunga liar itu.

"Las…, boleh nggak aku tahu alasanmu begitu memuja alang-alang?"

"Alasannya sederhana, Mas. Bunga ini tumbuh dimana-mana, di segala cuaca,"

"Iya, aku tahu. Pasti ada sebab lainnya!" sergah Permadi tak sabar.

"He,he…, kamu lucu deh, Mas. Apalagi kalau lagi sewot begitu," Lastri terkekeh, melihat Permadi bermuka masam. "Begini, alang-alang itu mempunyai makna filosofis yang dalam bagiku,"

"Sejak kapan kamu jadi seorang filsuf, Las?"

"Ah, itu pikiran sederhana orang bodoh sepertiku, Mas. Alang-alang adalah gulma yang selalu dianggap sampah, penganggu dan tak berguna. Beramai-ramai orang menebas lalu membakarnya agar tidak tumbuh lagi. Tapi lihat, hasilnya nihil bukan?Tak sampai dua hari, tunas baru akan kembali muncul."

"Terus…?" Permadi kembali mencecar.

"Ya, Mas. Aku ingin seperti alang-alang. Walaupun virus dalam tubuhku semakin ganas dan usiaku menurut dokter tinggal beberapa tahun lagi, aku tak peduli. Aku akan selalu bertunas, dan tak mau menyerah!"

"Bagus, Las. Itulah selama ini yang membuatku tak jemu mengagumimu."

"Mas Permadi terlalu berlebihan. Malah aku kadang kasihan melihat Mas selalu repot mengurusiku." "Mas…," Lastri tak segera meneruskan ucapannya. Ada keraguan melindap. "Apa tidak sebaiknya, Mas Permadi mencari gadis lain untuk menjadi pendamping hidup?"

"Wah, bicaramu semakin tak karuan. Sudahlah nggak usah dibahas masalah itu!"

"Tapi, Mas…,"

"Sudah tidur lagi sana! Kalau kamu masih bicara ngawur seperti itu, akan kutinggal kamu sendirian!" Permadi mengancam, membuat Lastri terdiam.

Sejenak keduanya bergelut dalam lamun. Dalam hati Lastri semakin memuja lelaki itu. Selama ini, sosok Permadi menjelma sebagai ksatria dalam hidupnya. Mengapa ia tak berusaha mengubah keputusannya? Jauh di relung terdalam ia ingin mengatakan "ya", dan secepatnya mengenalkan Permadi pada orang tuanya. Kelak akan dipersembahkannya mahkota yang selama ini ia jaga kepada lelaki yang dicintainya itu. Tapi saat ini bukanlah waktu yang tepat. Mungkin, satu hari nanti bila gadis alang-alang itu sudah bertunas dan menghijau kembali.

Senja jingga menyeruak. Kesiur angin nakal menyibak lembut rambut mayang seorang gadis yang tergerai. Perlahan, seorang pemuda menghampirinya dengan membawa seikat bunga alang-alang. Gadis itu tersenyum, menyambut kekasihnya dengan suka cita. Bergandengan, melangkah meninggalkan senja yang semakin matang. Mengejar hari yang menggelap, berganti malam.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More